Bunda dan Ayah, apakah kadang kita merasa ikut terbawa suasana lama saat anak bersikap seperti kita dulu? Misalnya, saat anak melakukan kesalahan, kita jadi mudah marah atau menjadi sangat protektif. Itu bisa jadi sinyal bahwa inner child kita masih membawa luka yang belum terproses dengan baik. Inner child healing adalah usaha sadar untuk mengenali bagian terdalam dari diri kita yang terluka dan merawatnya sehingga kita tidak menurunkan luka itu ke anak.
Apa Itu Inner Child Healing dan Kenapa Penting?
Konsep inner child sering dikaitkan dengan teori psikologi perkembangan yang menyatakan bahwa sebagian dari diri kita menyimpan pengalaman, rasa takut, dan kebutuhan masa kecil yang belum terselesaikan. Dalam konteks terapi, reparenting atau “menjadi orang tua bagi diri sendiri” dipakai sebagai teknik untuk menyembuhkan luka tersebut. Artikel 'Reclaiming the Inner Child in Cognitive-Behavioral Therapy' menjelaskan bagaimana metode internal ini digunakan dalam terapi untuk membantu individu memahami serta merawat bagian terdalam diri mereka agar lebih sehat secara emosional.
Dalam dunia parenting, orang tua yang melakukan inner child healing cenderung membesarkan anak dengan lebih sabar, empatik, dan tidak reaktif. Penelitian kualitatif Inner Child Influence on Early Childhood Emotions menunjukkan bahwa orang tua yang menyadari dan menerima inner child mereka lebih cenderung mengasuh dengan kasih dan menciptakan lingkungan emosional yang aman bagi anak.
Dampak Inner Child Healing pada Cara Kita Mengasuh
Dengan healing, kita bisa memisahkan kebutuhan anak dari kebutuhan masa lalu kita sendiri. Alih-alih merespons anak berdasarkan luka lama, kita bisa merespons sesuai kebutuhan anak saat ini. Misalnya, saat anak menumpahkan air di meja makan, orang tua bisa bilang, “Ayo kita lap sama-sama, lain kali hati-hati ya,” bukan langsung reaktif memarahi. Atau ketika nilai ulangan jelek, orang tua bisa memberi semangat, “Tidak apa-apa, kita belajar bareng lagi,” daripada membandingkan dengan teman yang nilainya lebih bagus.
Hal ini penting karena otak anak berkembang lewat pengalaman relasional. Teori keterikatan menyebutkan bahwa hubungan aman antara anak dengan orang tua sebagai pengasuh akan memfasilitasi regulasi emosi dan pertumbuhan mental yang optimal. Allan N. Schore dalam studinya Effects of a Secure Attachment Relationship on Right Brain Development membahas bagaimana interaksi orang tua sebagai pengasuh yang responsif mendukung perkembangan fungsi otak anak, terutama dalam regulasi afeksi atau emosi yang matang. Dengan memperbaiki cara kita merespons anak melalui healing, kita memberi kesempatan bagi mereka tumbuh dalam lingkungan relasional yang lebih sehat.
Kehangatan yang Menjadi Jembatan Emosional
Tidak cukup hanya dengan terapi emosional, sentuhan fisik dan kehangatan sehari-hari punya peran besar dalam memperkuat ikatan. Ritual kecil seperti mengelus punggung anak saat ia bercerita, memijat lembut menggunakan Konicare Minyak Telon, atau menggandeng tangan saat berjalan bersama bisa menjadi bonding momen yang penuh makna, di mana anak merasakan kehadiran orang tuanya secara utuh. Kehangatan ini membantu anak melihat orang tua tidak hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai teman tumbuh.
Konicare Minyak Telon Plus 3in1 hadir sebagai pendamping momen hangat penuh kasih antara orang tua dan anak. Dengan kehangatan lembut dan wangi premium dari essential oil yang menenangkan, minyak telon ini bukan hanya memberikan rasa nyaman, tapi juga melindungi hingga 8 jam dari gigitan nyamuk dan serangga. Diformulasikan dengan Triple Care Formula + Jojoba Oil, Konicare Minyak Telon Plus 3in1 menjadi perpaduan telon + skincare yang membantu menjaga kelembutan dan kesehatan kulit anak. Ketika anak merasa nyaman secara fisik, ia akan lebih terbuka secara emosional untuk menceritakan hal-hal yang ada di dalam hatinya.
Healing Diri, Hadiah untuk Anak
Bunda dan Ayah, healing diri bukanlah kemewahan. Itu adalah bagian dari tanggung jawab agar kita bisa menjadi orang tua yang lebih sadar, hadir, dan penuh kasih. Dengan semakin kuatnya kedekatan emosional, anak pun akan tumbuh dengan rasa dipercaya, aman, dan dicintai sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai bayangan harapan masa lalu.
___
Referensi:
Schore, A. N. (2001). Effects of a secure attachment relationship on right brain development, affect regulation and infant mental health. Infant Mental Health Journal, 22(1–2), 7–66.
Edwards, D. (2019). Reclaiming the inner child in cognitive-behavioral therapy. The Journal of Psychotherapy Practice and Research, 73(2), 159–168.
Harahap, R. (2023). Inner child influence on early childhood emotions. International Journal of Early Childhood Research, 11(1), 22–30.