Sharenting & Overscheduling: Saat Jadwal Anak Padat Demi Konten, Bukan Koneksi

Di era digital, menjadi orang tua tidak lagi hanya soal mengasuh, tapi juga mengabadikan. Dari video pertama kali anak belajar merangkak, sampai momen ia tampil di panggung sekolah, semuanya terasa sayang untuk tidak diabadikan dan diunggah.

Fenomena ini disebut sharenting, kependekan dari sharing (berbagi) dan parenting (mengasuh anak). Istilah ini merujuk pada kebiasaan orang tua membagikan banyak aspek kehidupan anak di media sosial, seringkali tanpa disadari dampaknya terhadap privasi dan psikologis anak.

Sekilas, tak ada yang salah. Tapi sharenting bisa menjadi pedang bermata dua, bisa mempererat kenangan, bisa juga meninggalkan jejak digital yang membebani anak di masa depan.

Ketika Overscheduling Menjadi Alasan untuk Oversharing

Lebih jauh lagi, budaya sharenting kini sering saling terkait dengan fenomena lain seperti overscheduling kids. Demi konten yang menarik, tak sedikit orang tua yang merancang jadwal padat anak dengan segudang kegiatan, mulai dari les musik, berenang, kelas bahasa asing, dan lomba mewarnai, semua didokumentasikan dan dibagikan.

Maka tak jarang, aktivitas anak bukan lagi soal minat atau kebutuhan perkembangan, melainkan konten yang bisa dibagikan. Anak bukan hanya belajar, tapi juga ditonton. Dan tanpa sadar, kita mengikis satu hal yang paling dibutuhkan anak dalam masa tumbuh kembangnya yaitu ruang untuk terhubung, bukan hanya di ekspose.

Terlalu Sibuk, Terlalu Terekspose, Tapi Tidak Terhubung

Oversharing yang dibungkus dengan “kebanggaan” orang tua bisa membuat anak kehilangan rasa kepemilikan atas dirinya. Saat setiap prestasi, tangisan, atau bahkan ekspresi lucunya jadi konsumsi publik, anak bisa tumbuh dengan rasa tidak aman: Apakah aku dicintai sebagai diriku sendiri, atau karena aku menarik di kamera?

Begitu juga dengan jadwal yang terlalu padat, yang bisa membuat anak kehilangan waktu untuk sekedar bermain bebas atau mendengarkan dirinya sendiri. Mereka jadi “terus melakukan,” tapi tidak punya cukup ruang untuk “merasakan.”

Apa yang Anak Butuhkan Sebenarnya?

Jawabannya sederhana: koneksi yang otentik.

Anak tidak butuh selalu tampil. Mereka butuh waktu. Untuk didengarkan tanpa diinterupsi. Untuk diekspresikan tanpa harus selalu difoto. Untuk dicintai bahkan saat tidak sedang jadi kebanggaan.

Kabar Baiknya: Kita Bisa Memilih Ulang

Sharenting dan overscheduling bukan musuh. Tapi jika dilakukan tanpa refleksi, bisa membuat kita lupa bahwa menjadi orang tua bukan soal siapa yang paling update, paling sibuk, atau paling bangga. Menjadi orang tua adalah tentang kehadiran yang tulus, bukan eksistensi di timeline sosial media.


Bunda bisa mencoba mulai dari hal-hal kecil, seperti:

  • Tunda mengunggah—tanyakan dulu, “Kamu nyaman nggak kalau ini dibagikan?”
  • Kurangi jadwal—berikan waktu anak untuk bosan, bermain, dan merasa cukup.
  • Luangkan waktu—bukan untuk konten, tapi untuk koneksi.

Karena dibalik anak yang terlalu sibuk dan terlalu terekspos, mungkin tersembunyi rasa sepi yang belum sempat disuarakan. Sebab, pada akhirnya, yang anak ingat bukan seberapa padat jadwalnya, melainkan siapa yang hadir di sampingnya saat hari terasa berat. Dan di setiap kehadiran kecil yang berarti besar itulah, Konicare siap menemani.




Artikel Terkait

BACK TO TOP